SEJARAH ULAMA



                                    SYEKH IBNU ATHA'ILLAH
 REPUBLIKA.CO.ID, Nama lengkapnya adalah Syekh Ahmad ibnu Muhammad Ibnu Atha’illah As-Sakandari. Ia lahir di Iskandariah (Mesir) pada 648 H/1250 M, dan meninggal di Kairo pada 1309 M. Julukan Al-Iskandari atau As-Sakandari merujuk kota kelahirannya itu.
Sejak kecil, Ibnu Atha’illah dikenal gemar belajar. Ia menimba ilmu dari beberapa syekh secara bertahap. Gurunya yang paling dekat adalah Abu Al-Abbas Ahmad ibnu Ali Al-Anshari Al-Mursi, murid dari Abu Al-Hasan Al-Syadzili, pendiri tarikat Al-Syadzili. Dalam bidang fiqih ia menganut dan menguasai Mazhab Maliki, sedangkan di bidang tasawuf ia termasuk pengikut sekaligus tokoh tarikat Al-Syadzili.
Ibnu Atha'illah tergolong ulama yang produktif. Tak kurang dari 20 karya yang pernah dihasilkannya. Meliputi bidang tasawuf, tafsir, aqidah, hadits, nahwu, dan ushul fiqh. Dari beberapa karyanya itu yang paling terkenal adalah kitab Al-Hikam. Buku ini disebut-sebut sebagai magnum opusnya. Kitab itu sudah beberapa kali disyarah. Antara lain oleh Muhammad bin Ibrahim ibnu Ibad Ar-Rasyid-Rundi, Syaikh Ahmad Zarruq, dan Ahmad ibnu Ajiba.
Beberapa kitab lainnya yang ditulis adalah Al-Tanwir fi Isqath Al-Tadbir, Unwan At-Taufiq fi’dab Al-Thariq, Miftah Al-Falah dan Al-Qaul Al-Mujarrad fil Al-Ism Al-Mufrad. Yang terakhir ini merupakan tanggapan terhadap Syekhul Islam ibnu Taimiyyah mengenai persoalan tauhid.
Kedua ulama besar itu memang hidup dalam satu zaman, dan kabarnya beberapa kali terlibat dalam dialog yang berkualitas tinggi dan sangat santun. Ibnu Taimiyyah adalah sosok ulama yang tidak menyukai praktek sufisme. Sementara Ibnu Atha'illah dan para pengikutnya melihat tidak semua jalan sufisme itu salah. Karena mereka juga ketat dalam urusan syari’at.
Ibnu Atha'illah dikenal sebagai sosok yang dikagumi dan bersih. Ia menjadi panutan bagi banyak orang yang meniti jalan menuju Tuhan. Menjadi teladan bagi orang-orang yang ikhlas, dan imam bagi para juru nasihat.
Ia dikenal sebagai master atau syekh ketiga dalam lingkungan tarikat Syadzili setelah pendirinya Abu Al-Hasan Asy-Syadzili dan penerusnya, Abu Al-Abbas Al-Mursi. Dan Ibnu Atha'illah inilah yang pertama menghimpun ajaran-ajaran, pesan-pesan, doa dan biografi keduanya, sehingga khazanah tarikat Syadziliyah tetap terpelihara.
Meski ia tokoh kunci di sebuah tarikat, bukan berarti aktifitas dan pengaruh intelektualismenya hanya terbatas di tarikat saja. Buku-buku Ibnu Athaillah dibaca luas oleh kaum muslimin dari berbagai kelompok, bersifat lintas mazhab dan tarikat, terutama kitab Al-Hikam.

Kitab Al-Hikam ini merupakan karya utama Ibnu Atha’illah, yang sangat populer di dunia Islam selama berabad-abad, sampai hari ini. Kitab ini juga menjadi bacaan utama di hampir seluruh pesantren di Nusantara.
Syekh Ibnu Atha’illah menghadirkan Kitab Al-Hikam dengan sandaran utama pada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Guru besar spiritualisme ini menyalakan pelita untuk menjadi penerang bagi setiap salik, menunjukkan segala aral yang ada di setiap kelokan jalan, agar kita semua selamat menempuhnya.
Kitab Al-Hikam merupakan ciri khas pemikiran Ibnu Atha’illah, khususnya dalam paradigma tasawuf. Di antara para tokoh sufi yang lain seperti Al-Hallaj, Ibnul Arabi, Abu Husen An-Nuri, dan para tokoh sufisme falsafi yang lainnya, kedudukan pemikiran Ibnu Atha’illah bukan sekedar bercorak tasawuf falsafi yang mengedepankan teologi. Tetapi diimbangi dengan unsur-unsur pengamalan ibadah dan suluk, artinya di antara syari’at, tarikat dan hakikat ditempuh  dengan cara metodis. Corak Pemikiran Ibnu Atha’illah dalam bidang tasawuf sangat berbeda dengan para tokoh sufi lainnya. Ia lebih menekankan nilai tasawuf  pada ma’rifat.
Adapun pemikiran-pemikiran tarikat tersebut adalah: Pertama, tidak dianjurkan kepada para muridnya untuk meninggalkan profesi dunia mereka. Dalam hal pandangannya mengenai pakaian, makanan,  dan kendaraan yang layak dalam kehidupan yang sederhana akan menumbuhkan rasa syukur kepada Allah dan mengenal rahmat Illahi.
"Meninggalkan dunia yang berlebihan akan menimbulkan hilangnya rasa syukur. Dan berlebih-lebihan dalam memanfaatkan dunia akan membawa kepada kezaliman. Manusia sebaiknya menggunakan nikmat Allah SWT. dengan sebaik-baiknya sesuai petunjuk Allah dan Rasul-Nya," kata Ibnu Atha'illah.
Kedua, tidak mengabaikan penerapan syari’at Islam. Ia adalah salah satu tokoh sufi yang menempuh jalur tasawuf hampir searah dengan Al-Ghazali, yakni suatu tasawuf yang berlandaskan kepada Al-Qur’an dan Sunnah. Mengarah kepada asketisme, pelurusan dan penyucian jiwa (tazkiyah an-nafs), serta pembinaan moral (akhlak), suatu nilai tasawuf yang dikenal cukup moderat.
Ketiga,  zuhud tidak berarti harus menjauhi dunia karena pada dasarnya zuhud adalah mengosongkan hati selain daripada Tuhan. Dunia yang dibenci para sufi adalah dunia yang melengahkan dan memperbudak manusia. Kesenangan dunia adalah tingkah laku syahwat, berbagai keinginan yang tak kunjung habis, dan hawa nafsu yang tak kenal puas. "Semua itu hanyalah permainan (al-la’b) dan senda gurau (al-lahwu) yang akan melupakan Allah. Dunia semacam inilah yang dibenci kaum sufi," ujarnya.
Keempat,  tidak ada halangan bagi kaum salik untuk menjadi miliuner yang kaya raya, asalkan hatinya tidak bergantung pada harta yang dimiliknya. Seorang salik boleh mencari harta kekayaan, namun jangan sampai melalaikan-Nya dan jangan sampai menjadi hamba dunia. Seorang salik, kata Atha'illah, tidak bersedih ketika kehilangan harta benda dan tidak dimabuk kesenangan ketika mendapatkan harta.
Kelima, berusaha merespons apa yang sedang mengancam kehidupan umat, berusaha menjembatani antara kekeringan spiritual yang dialami orang yang hanya sibuk dengan urusan duniawi, dengan sikap pasif yang banyak dialami para salik.
Keenam, tasawuf adalah latihan-latihan jiwa dalam rangka ibadah dan menempatkan diri sesuai dengan ketentuan Allah. Bagi Syekh Atha'illah, tasawuf memiliki empat aspek penting yakni berakhlak dengan akhlak Allah SWT, senantiasa melakukan perintah-Nya, dapat menguasai hawa nafsunya serta berupaya selalu bersama dan berkekalan dengan-Nya secara sunguh-sungguh.
Ketujuh, dalam kaitannya dengan ma’rifat Al-Syadzili, ia berpendapat bahwa ma’rifat adalah salah satu tujuan dari tasawuf yang dapat diperoleh dengan dua jalan; mawahib, yaitu Tuhan memberikannya tanpa usaha dan Dia memilihnya sendiri orang-orang yang akan diberi anugerah tersebut; dan makasib, yaitu ma’rifat akan dapat diperoleh melalui usaha keras seseorang, melalui ar-riyadhah, dzikir, wudhu, puasa ,sahalat sunnah dan amal shalih lainnya.
Jakarta  28/5/2013

View the original article here

» Read More...

SEJARAH NABI IBRAHIM AS



                   NABI IBRAHIM KHALILULLAH
la adalah Ibrahim bin Azar ‘alaihis, beliau dijuluki dengan gelar Abu adh-Dhaifan. Menurut pendapat yang shahih, Nabi Ibrahim ‘alaihissalam dilahirkan di Babil. Semua penghuni bumi pada saat itu ada di dalam kekafiran, kecuali Ibrahim al-Khalil, Sarrah (istrinya), dan keponakannya Luth ‘alaihissalam.
Ibnu Jarir berkata, “Pendapat yang benar bahwa nama bapaknya adalah Azar [1] . Boleh jadi ia memiliki dua nama atau salah satu adalah gelarnya dan yang lain adalah nama aslinya. Wallahu a’lam.”
Allah ta’ala telah menyebutkan dialog dan perdebatan yang terjadi antara Ibrahim dan bapaknya serta bagaimana ia menyeru bapaknya kepada kebenaran dengan ungkapan yang lemah lembut dan isyarat yang lebih baik. Ibrahim menjelaskan kepada bapaknya mengenai kebatilan peribadatan yang ia lakukan berupa penyembahan terhadap berhala-berhala yang tidak mampu mendengar permohonan penyembahnya dan tidak mampu pula melihat tempat orang yang
menyembahnya, lalu bagaimana ia bisa memberi sesuatu kepadanya berupa rezeki dan pertolongan? Tetapi, bapaknya justru menakuti-nakuti dan mengancamnya.
Di antara nasehat Ibrahim kepada penduduk Harran yang menyembah bintang-bintang adalah ia menjelaskan kepada mereka bahwa benda-benda langit yang terlihat di atas itu berupa bintang-bintang gemerlapan tidak pantas dipertuhankan dan tidak berhak untuk disekutukan dengan Allah. Sebab, bintang-bintang tersebut adalah makhluk, yang ia terkadang terbit dan terkadang tenggelam, lalu hilang dari alam ini. Sedangkan Allah subhanahu wa ta’ala tidak akan pemah hilang dari alam dan tidak ada sesuatu pun yang tersembunyi bagiNya. Bahkan Dia kekal abadi dan tidak pernah hilang.
Ibrahim ‘alaihissalam mengingkari perbuatan kaumnya yang menyembah berhala-berhala; dia menghinakannya serta merendahkannya. Para penyembah berhala-berhala tersebut tidak memiliki hujjah melainkan hanya mengikuti tradisi nenek moyang mereka. Tatkala mereka keluar menghadiri perayaan mereka, maka dengan cepat dan diam-diam Ibrahim mendatangi patung-patung mereka, lantas menghancurkannya, lalu meletakkan kapak (yang ia pakai untuk menghancurkan tadi) di leher patung yang paling besar sebagai satu isyarat bahwa ia cemburu bila patung-patung yang lebih kecil ikut disembah bersamanya. Saat orang-orang kembali dari perayaan mereka dan mendapatkan apa yang menimpa tuhan-tuhan mereka, mereka bertanya dengan nada pengingkaran terhadap orang yang melakukan perbuatan itu kepada tuhan-tuhan mereka. Lalu mereka mengatakan bahwa mereka pernah mendengar ada seorang pemuda yang bernama Ibrahim yang biasa mencela tuhan-tuhan mereka. “Mereka berkata: ‘(Kalau demikian) bawalah dia dengan cara yang dapat dilihat orang banyak agar mereka menyaksikan.”‘ (QS. Al-Anbiya’: 61) Yaitu, di hadapan orang-orang banyak yang menyaksikannya agar mereka menyaksikan perkataannya dan mendengarkan ucapannya.
Kejadian ini merupakan harapan terbesar Ibrahim al-Khalil ‘alaihissalam, yaitu berkumpulnya seluruh manusia, lalu ia menegakkan hujjah di hadapan semua para penyembah berhala tersebut atas kebatilan perbuatan mereka, sebagaimana yang diungkapkan oleh Musa ‘alaihissalam kepada Fir’aun: “Berkata Musa, ‘Waktu untuk pertemuan (kami dengan) kamu itu ialah di hari raya dan hendaklah dikumpulkan manusia pada waktu matahari sepenggalahan naik.”‘ (QS. Thaha: 95).
Ketika orang-orang telah berkumpul dan telah menghadirkan Ibrahim, mereka berkata, “Apakah kamu yang melakukan perbuatan ini terhadap tuhan-tuhan kami, hai Ibrahim?” Ibrahim menjawab, “Sebenarnya patung yang besar itulah yang melakukannya, maka tanyakanlah kepada berhala itu, jika mereka dapat berbicara.” (QS. Al-Anbiya: 62-63).
Yang dimaksudkan Ibrahim terhadap ucapannya ini tidak lain adalah agar mereka segera menjawab bahwa berhala-berhala tersebut tidak mampu berbicara, sehingga mereka mengakui bahwa berhala-berhala tersebut adalah benda mati sebagaimana benda mati lainnya. Lalu mereka kembali kepada jiwa mereka dengan mencela diri. Mereka bingung serta kehabisan hujjah dan tidak ada lagi yang tersisa melainkan menggunakan kekuatan. Mereka pun segera mengumpulkan kayu bakar, kemudian mereka kumpulkan di sebuah parit yang sangat besar dan menyalakannya. Api tersebut berkobar-kobar sangat tinggi yang belum pernah terlihat sebelumnya. Kemudian mereka meletakkan Ibrahim ‘alaihissalam di piringan manjaniq (alat pelempar semacam meriam) yang dibuat oleh seseorang yang berasal dari Akrad yang bernama Haizan. Dialah orang yang pertama kali membuat manjaniq, Allah pun menenggelamkannya ke dalam bumi. Ketika Ibrahim ‘alaihissalam diletakkan di piringan manjaniq posisinya ada dalam keadaan terikat, kemudian mereka melemparnya ke api. Saat itu Ibrahim berkata, “Hasbunallaah wa ni’mal wakiil (Cukuplah Allah sebagai pelindung kami. Dan Allah adalah sebaik-baik pelindung).”
Imam Al-Bukhari meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas, bahwasanya ia berkata, “Cukuplah Allah sebagai pelindung kami, dan Allah adalah sebaik-baik pelindung.” Dzikir ini diucapkan oleh Ibrahim saat ia dilempar ke dalam api. Dan diucapkan oleh Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallamketika dikatakan kepadanya:
“(Yaitu) orang-orang (yang menaati Allah dan Rasul) yang kepada mereka ada orang-orang yang mengatakan: ‘Sesungguhnya manusia telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang kami, karena itu takutlah kepada mereka’, maka perkataan itu menambah keimanan mereka dan mereka menjawab: ‘Cukuplah Allah menjadi Penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik Pelindung. Maka mereka kembali dengan nikmat dan karunia (yang besar) dari Allah, mereka tidak mendapat bencana apa-apa. “‘ (QS. Ali lmran: 173-174).
Allah ta’ala berfirman: “Hai api, menjadi dinginlah dan menjadilah keselamatan bagi Ibrahim” (QS. Al-Anbiya’: 69). Maka tidak ada sesuatu pun yang terbakar dari Ibrahim selain tali pengikatnya saja.
Dari Ummu Syuraik bahwa Rasulullah pernah memerintahkan membunuh tokek/cicak dan bersabda, “Dahulu ia meniup (api yang membakar) lbrahim.”[2]
Kemudian Allah menyebutkan perdebatan kekasih-Nya dengan seorang raja tiran lagi kafir yang mengaku dirinya sebagai tuhan. Lalu Ibrahim ‘alaihissalam berhasil mementahkan hujjah sang raja. Raja tersebut adalah raja Babilonia. Namanya adalah Namrud bin Kusy bin Sam bin Nuh. “Ibrahim berkata, ‘Tuhanku ialah yang menghidupkan dan mematikan.”‘ (QS. Al-Baqarah: 258). Raja bodoh ini berkata, “Aku juga dapat menghidupkan dan mematikan.” Dan para rasul telah diberi hujjah (dalam menghadapi hal itu):
“Ibrahim berkata, ‘Sesungguhnya Allah menerbitkan matahari dari timur, maka terbitkanlah dia dari barat.’ Lalu terdiam heranlah orang kafir itu, dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang zhalim. (QS. Al-Baqarah: 258)
Setelah kejadian tersebut, Ibrahim ‘alaihissalam hijrah ke Mesir, kemudian kembali dengan ditemani oleh Hajar wanita Qibthi Mesir.
Adapun Luth ‘alaihissalam, ia singgah di kota Sodom berdasarkan perintah Ibrahim. Penduduk Sodom adalah orang-orang yang berlaku buruk, kafir, lagi fajir.
Kemudian Hajar melahirkan tiga belas tahun sebelum kelahiran Ishaq. Tatkala Isma’il lahir, Allah ta’ala mewahyukan kepada Ibrahim berupa kabar gembira akan lahirnya Ishaq dari kandungan Sarah. Setelah kelahiran Isma’il dari Hajar, memuncaklah kecemburuan Sarah. Sarah meminta kepada Ibrahim agar ia menjauhkan Hajar darinya. Maka Ibrahim pergi membawa Hajar dan Isma’il hingga sampai ke suatu tempat yang bernama Makkah. Ketika itu Makkah tidak didiami oleh seorang pun dan juga tidak ada air di sana. Ibrahim hanya meletakkan sebuah kantong yang berisi kurma dan kantong kulit berisi air di sisi keduanya. Kemudian Ibrahim meninggalkan tempat tersebut. Ketika air yang di kantong mulai habis, Hajar pun kehausan. Demikian halnya dengan anaknya ia menggelepar-gelepar (karena kehausan). Hajar pun berbolak-balik antara Bukit Shafa dan Marwah demi untuk mendapatkan air. Ia melakukan hal itu sebanyak tujuh kali dan ia tidak melihat seorang pun. Kemudian ia mendengar suara. Ternyata suara itu datangnya dari malaikat yang tengah berada di dekat Zam-zam. Malaikat tersebut mengais-ngaiskan sayapnya hingga muncul air. Lalu Hajar pun membendung air tersebut.
Air Zamzam
Ibnu ‘Abbas berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Semoga Allah merahmati ibu Isma’il. Jika saja ia membiarkan air Zam-zam itu, niscaya ia menjadi mata air yang mengalir.”‘ [3] Akan tetapi Hajar membendung air tersebut dengan kedua tangannya, disebabkan rasa semangat yang dimilikinya. Maka ia pun meminum air itu dan menyusui anaknya. (Kondisi ini terus berlangsung) hingga sebuah keluarga dari kalangan Jurhum melewati mereka. Lantas mereka pun singgah di sekitar air tersebut dan mengirim utusan kepada keluarga mereka agar mereka ikut datang dan menetap di sana bersama mereka. Sang bayi pun (Isma’il) tumbuh besar dan belajar bahasa Arab dari mereka. Setelah dewasa mereka menikahkannya dengan seorang wanita dari kalangan mereka. Setelah itu ibu Isma’il meninggal dunia. Kemudian Ibrahim datang dan berkata, “Wahai Isma’il, sesungguhnya Allah memerintahku untuk membangun sebuah rumah di sini.” Saat itulah mereka berdua meninggikan pondasi Baitullah.
Ilustrasi Ka’bah
Maqom Ibrahim
Adapun kisah penyembelihan, maka tidak ada perbedaan di kalangan para ulama al-milal wa an-nihal (pakar sejarah keagamaan) bahwa yang disembelih adalah Ismail ‘alaihissalam, putra dan anak remaja pertamanya “Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim.” (QS. Ash-Shaffat: 102) Yakni telah mencapai umur remaja dan bekerja untuk kemaslahatan dirinya seperti halnya bapaknya. Pada saat itulah Ibrahim ‘alaihissalam bermimpi bahwa ia diperintahkan menyembelih anaknya. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu ‘Abbas secara marfu’, “Mimpinya para Nabi adalah wahyu.” Maka Ibrahim pun mengutarakan hal itu kepada putranya “Hai anakku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu.” (QS. Ash-Shaffat: 102) Maka dengan bersegera putra yang santun itu memenuhi keinginan bapaknya, al-Khalil Ibrahim dan berkata, “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diberitahukan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.” (QS. Ash-Shaffat: 102).
Ilustrasi
Jawaban ini merupakan puncak ketenangan dan ketaatan serta ia berazam atas hal itu. Ibrahim pun menorehkan pisaunya di atas tenggorokan putranya, namun pisau tersebut sedikit pun tidak dapat memotongnya. Di saat seperti itu ia diseru oleh Allah ‘azza wa alla “Hai Ibrahim, sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu …… (QS. Ash-Shaffat 104-105). Yaitu tercapai maksud dari ujian, ketaatan, dan kesegeraanmu pada perintah Tuhan-Mu: “Dan Kami tebus anak itu dengan sembelihan yang besar.” (QS. Ash-Shaffat: 107) Yang masyhur dari mayoritas ulama bahwa tebusan itu adalah domba putih, ada warna hitam di sekitar matanya, dan bertanduk.
Kemudian, Ibrahim dikaruniai seorang putra bernama Ishaq, setelah Ishaq disusul dengan Ya’kub ‘alaihimussalam.
Foot Note:
[1] Sebagian sejarawan menyebutkan bahwa nama bapaknya adalah Tarih –pentj-
[2]    HR. AI-Bukhari dalam Shahihnya (3109), Imam Ahmad dalam Musnadnya (24463).
[3] HR. AI-Bukhari (2195) dan Imam Ahmad dalam Musnadnya (3217)
Sumber: Mukhtasar Bidayah wan Nihayah – Ibnu Katsir, Diringkas oleh Syaikh Ahmad Khani, Penerbit Pustaka as Sunnah
JAKARTA  23/5/2013

View the original article here

» Read More...

SEJARAH ISTRI-ISTRI NABI SAW



   ISTERI-ISTERI NABI SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM
Yang pertama dari mereka adalah Khadijah, kemu­dian Saudah, kemudian `Aisyah, lalu Hafshah, Ummu Habibah, Ummu Salamah, Zainab binti Jahsy, Maimu­nah, Juwairiyah, dan Shafiyyah. Kami akan menyebutkan biografi mereka, insya Allah.[1]
Semuanya ada sembilan setelah Khadijah, yang me­ninggal sebelum mereka. Beliau tidak pernah menikah dengan wanita lain semasa hidup Khadijah, dan beliau tidak pernah menikah dengan gadis selain ‘Aisyah.
Adapun wanita-wanita yang pernah dicerai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam semasa hidupnya, maka tidak kami sebutkan karena banyaknya perselisihan mengenai mereka.
Beliau memiliki dua sahaya wanita (Surriyyah) [2]: Maria [3] dan Raihanah binti Zaid, ada yang menyebutkan, binti Syam’un, kemudian beliau memerdekakannya.[4]
Diriwayatkan kepada kami dari Qatadah, ia me­ngatakan, “Nabi menikah dengan lima belas wanita, menggauli 13 orang dari mereka, menghimpun sebelas orang dari mereka, dan beliau meninggal dunia dengan meninggalkan sembilan isteri” [5]
Foot Note:
[1] Maksud pengarang yaitu dalam kitabnya, Tandziibul Asmaa’ wal Lughaat, yang mana pembahasan ini merupakan bagian dari mukaddimahnya. Namun, pengarang luput menyebutkan Ummul Mu’minin Zainab binti Khuzaimah, yang biasa disebut Ummul Masaakiin (ibu kaum miskin) karena ia suka berderma kepada mereka. Nabi menikahinya setelah pernikahannya dengan Hafshah. Ia hidup bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam selama dua atau tiga bulan, kemu­dian ia meninggal. Tidak ada seorang pun dari isteri-isterinya yang meninggal semasa hidup beliau kecuali dia, dan sebelumnya Khadijah. Di antara kekhususan Nabi yang tidak ber­laku bagi umatnya, ialah beliau boleh menikahi lebih dari empat isteri, sebagaimana diingatkan oleh pengarang (hal. 78 dari kitab asli). Lihat al-Istii’aab (I/88), al-Ishaabah (XII/280), dan as Siyar (II/218)
[2] As-suriyyah, dengan mendhammahkan siin, mengkasrahkan raa’, memfathahkan yaa’ danmentasydidkan semua huruf tadi, ialah sahayawanita yang dihalalkan di rumah. Dinamakan demikian karena seseorang lebih senang menggaulinya daripada menggauli isterinya. (Lihat Mukhtaarush Shihaah, kamus pembahasan kelompok huruf)
[3] Ia adalah al-Qibthiyyah, ibu dari anak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Ibrahim. Wanita ini dihadiahkan oleh Muqauqis, penguasa Iskandaria, kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam  (al-Ishaabah, XIII/125).
[4] Ia dari bani Nadhir dari Yahudi, dan ia radhiyallahu ‘anha telah masuk Is­lam. Silakan lihat al-Ishaabah (XII/267).
[5] Lihat Tasmiyyah Azwaajin Nabi wa Auladih, karya Abu ‘Ubaidah (hal. 70-80) dan al-Istii’aab, karya Ibnu ‘Abdil Barr (I/90-91), di mana Ibnu `Abdil Barr mengatakan, “Adapun wanita-wanita yang diperselisihkan, yaitu wanita yang sudah beliau gauli lalu beliau ceraikan, atau mengadakan akad dengannya tapi belum beliau gauli, atau beliau pinang tapi tidak jadi akad nikahnya. Status mereka ini diperselisihkan juga tentang sebab-sebab menceraikan mereka dengan perselisihan tajam yang wajib berhenti dari memutuskan kebenaran pada salah satu darinya.”
Sumber: Buku “Ringkasan Kehidupan Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam”, Imam an Nawawi, Ta’liq & Takhrij: Khalid bin Abdurrahman bin Hamd Asy-Syayi, Pustaka Ibnu Umar, Cet.1
JAKARTA 23/5/2013

View the original article here

» Read More...

SEJARAH NABI MUHAMMAD SAW



                       CIRI DAN SIFAT NABI SAW
Beliau tidak terlalu tinggi dan tidak pula pendek [2], tidak terlalu putih dan tidak pula coklat [3], rambutnya ti­dak keriting dan tidak pula lurus [4], saat meninggal tidak ada di kepalanya lebih dari dua puluh uban. Tubuhnya bagus, jarak antara kedua pundaknya jauh, memiliki rambut hingga kedua pundaknya: pada suatu waktu hingga dua daun telinganya, dan suatu waktu hingga separuh telinganya. Jenggotnya tebal, jari-jari tangannya besar[5], kepalanya besar, dan dua tulang persendiannya besar.
Wajahnya bulat, matanya sangat hitam, bulu matanya panjang, Ujung matanya merah, berbulu lembut dari dada hingga pusar.
Jika berjalan, beliau berjalan dengan kuat. Wajah­nya berbinar-binar laksana bulan purnama, seakan-akan wajahnya adalah bulan. Suaranya merdu, pipinya lunak, mulutnya lebar [6], perut dan dadanya sejajar.
Kedua pundak, kedua hasta dan bagian atas dada ber­bulu, pergelangan tangannya panjang, telapak tangannya lebar, lubang kedua matanya panjang, kedua tumitnya memiliki sedikit daging, di antara kedua pundaknya ter­dapat tanda kenabian seperti kancing rumah pengantin, atau seperti telur merpati.[7]
Jika berjalan, seakan-akan tanah bumi dilipat un­tuknya. Saat menyusulnya, mereka mendapatinya tidak menaruh perhatian. Beliau mengurai rambut kepalanya (pada keningnya), lalu memisahnya menjadi dua bagian.[8] Beliau menyisir rambutnya, menyisir jenggotnya, dan bercelak dengan celak itsmid setiap malam, pada tiap-tiap mata tiga sapuan saat tidur.
Pakaian yang paling beliau sukai adalah gamis, ber­warna putih, dan hibarah, yaitu sejenis kain tebal ber­warna kemerah-merahan. Lengan baju Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallamhingga pergelangan.[9]
Pada satu waktu, beliau memakai pakaian merah, sarung dan selendang. Pada waktu yang lain, beliau memakai dua pakaian (hijau). Pada waktu yang lain, beliau memakai jubah yang sempit lengan tangannya. Pada waktu yang lain, beliau memakai peci. Pada waktu yang lain, beliau memakai serban hitam dan mengulur­kan kedua ujungnya di antara kedua pundaknya. Pada waktu yang lain, memakai pakaian hitam terbuat dari bulu, yakni kisa’. Beliau memakai cincin[10], sepatu dan sandal.
Foot Note:
[1] Mengenai masalah ini, lihat asy-Syamaa-il al-Muhammadiyyah karya at-Tirmidzi, yang dirangkum oleh Syaikh al-Albani.
[2] Yakni, perawakannya ideal.
[3] Yakni, beliau tidak terlalu putih dan tidak pula coklat, tetapi putihnya kecoklatan yang dihiasi dengan warna kemerahan.
[4] Yakni, rambut beliau tidak keriting dan tidak pula sangat lu­rus dan lembut, tetapi pertengahan di antara itu, dan inilah ke­sempurnaan.
[5] adalah terpuji bagi laki-laki karena ia sangat keras geng­gamannya, tapi dicela bagi wanita, karena yang lebih pantas bagi wanita adalah lembut. Lihat an-Nihaayah (II/444).
[6] Ini adalah sifat kesempurnaan pada kaum kaki-laki.
[7] Khatam an-Nubuwwah (stempel kenabian) ialah tanda menonjol, yakni daging yang menonjol yang terletak di antara kedua pundak seukuran telur burung merpati dan di atasnya ter­dapat bulu-bulu yang berhimpun.
[8] Yakni, menjadikannya menjadi dua bagian pada kedua sisi kepalanya, dan tidak membiarkan sedikit pun darinya pada dahinya.
[9] HR. Abu Dawud (4027), dan at-Tirmidzi (1765). Dalam sanad­nya terdapat Syahr bin Hausyab, seorang perawi dhaif. Ar­rusgh adalah persendian antara telapak tangan dengan lengan. Lihat Mukhtashar asy-Syamaa-il, karya al-Albani (hal. 46).
[10] Cincin beliau terbuat dari perak yang beliau sematkan di jari manis kanannya, dan terkadang beliau memakainya di ta­ngan kiri. Lihat Shahiih al-Bukhari (5877), dan Shahiih Muslim (2094).
Bersambung insyaallah..
Sumber: Buku “Ringkasan Kehidupan Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam”, Imam an Nawawi, Ta’liq & Takhrij: Khalid bin Abdurrahman bin Hamd Asy-Syayi, Pustaka Ibnu Umar, Cet.1
JAKARTA 23/5/2013

View the original article here

» Read More...

Total Tayangan Halaman

Blog's Archives